Senin, 22 November 2010

Masih Milik Kamu

Lia....

Apa kabar? Semoga baik-baik saja, ya. Syukur deh, memang itu yang selalu kuharapkan siang dan malam.
Tak terasa, sudah hampir setahun kita tak bertemu. Aku sangat rindu pada kamu, rindu ingin bertemu. Tapi, apakah mungkin hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama dapat terulang lagi? Apakah mungkin hari-hari indah seperti dulu dapat tercipta lagi? Apakah mungkin? Menyesal rasanya aku telah berbuat salah kepada kamu. Aku minta maaf. Aku begitu bodoh, ketika itu, kenapa aku harus meninggalkan kamu yang sudah kutahu siapa kamu. Kamu adalah gadis sejuta pesona yang tiada duanya. Dan akhir-akhir ini, aku selalu ingat kamu. Dapatkah kita seperti dulu lagi, Lia? Mengisi hari-hari yang kita lalui dengan indahnya cinta? Dapatkah?
Sekali lagi kumohon, maafkan aku, Lia. Dan aku percaya, hati kamu yang selembut awan itu dengan tulus akan memaafkannya. Ssemoga.

Salam,
Leo
***
Aku lipat surat berwarna biru muda yang baru saja kubaca itu. Dudukku jadi tidak tenang. Angin malam yang lembut menggeraikan rambutku. Aku menengadah, memandang sinar rembulan yang sedang bulat-bulatnya bersinar.
Di tengah-tengah bulatnya rembulan, tiba-tiba saja wajah Leo tampak dan memberikan senyuman kepadaku. Aku mendesah pelan. Sudahlah, Leo, lirihku. Aku tak mau kamu ganggu lagi. Sudah cukup luka yang kau torehkan di hatiku. Aku tak mau luka itu tergores lagi. Aku ingin melupakan kamu, Leo. Meskipun secara jujur aku akui, hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama dulu telah menjadi kenangan yang sulit untuk kulupakan. Pergilah, Leo. Aku sudah merelakan cinta kamu untuk Shinta. Bukankah kamu dulu meninggalkanku demi Shinta? Kenapa sekarang kamu ingin kembali lagi kepadaku? Tak puaskah kamu menyakiti hatiku? Atau kamu ingin membunuhku secara perlahan-lahan dengan cintamu?
Didustai itu sakit, Leo. Apalagi dustanya cinta. Pernahkan kau melihat lilin yang terbakar? Seperti itulah hatiku ketika kau tinggal pergi tanpa pesan sepuluh bulan yang lalu. Hancur, hancur benar hatiku ketika itu, hingga aku tak bisa membedakan mana nikmatnya air susu dan obat serangga. Akibatnya, aku harus 'indekos' di rumah sakit selama seminggu.
Ah... untung aku dapat tertolong, kalau tidak? Entahlah. Yang jelas, aku sangat mengutuk tindakan bodohku pada waktu itu. Aku menjadi buta, buta karena cintamu. Karena, kamu adalah cinta pertamaku, Leo. Dan kata orang, cinta pertama itu sulit untuk dilupakan. Sialnya, itu memang benar. Dan sepuluh bulan aku harus melupakan kamu, yang terkena panah cinta Shinta si Foto Model itu, merupakan sebuah perjuangan yang sarat dengan rintangan. Hari-hari indah yang sering kita lalui bersama selalu mengusik hatiku. Aku pikir, ketika itu aku tak bisa melupakanmu selama-lamanya. Tapi dengan posisiku ketika itu, bahwa aku dan kamu sudah tidak ada apa-apanya, meskipun kita belum pernah mengucap kata berpisah, membuatku sadar, bahwa kamu adalah lelaki masa laluku. Aku harus bisa melupakanmu. Sulit memang. Tapi aku mencobanya dengan perlahan-lahan. Dan sekarang, ketika aku sudah mulai dapat melupakanmu, tiba-tiba saja kau hadir kembali. Hadir kembali dengan sepucuk surat yang kau berikan melalui Dian, teman sekelasku.
Ah, Leo... apa yang kau ingini dariku sekarang ini? Cinta? Kalau kau memang mengingini cintaku kembali lagi untukmu, kenapa kau dulu mencampakkannya? Kenapa kau dulu malah memilih cinta Shinta setelah kau dapatkan cinta dariku yang seutuhnya? Kenapa, Leo?
Aku mendesah pelan. Bayangan wajah Leo di atas sana masih tersenyum seperti tadi. Ah... aku kembali mendesah. Pandangan Leo seperti sedang menjajahku. Dan senyumannya... senyumannya itulah yang dahulu telah meluluhkan hatiku, hingga aku sampai bertekuk lutut di singgasana cintanya. Entah mengapa, akhirnya aku menikmati senyumannya itu. Dan kembali mengingat kenangan indah hari-hari bahagia dulu.
Di taman ini, kalau malam Minggu, aku selalu duduk berdua dengannya. Cerita, bercanda, dan tertawa. Dan aku masih ingat ketika purnama seperti sekarang ini, Leo membelai rambutku dengan penuh cinta kasih sambil membisikkan kata-kata:
"Aku mau mengajakmu ke bulan, Lia. Kamu mau?"
"Kemana pun kau ajak aku, Leo, aku pasti ikut," jawabku, sambil bersandar manja di bahunya. Ah, kenangan itu teramat sulit kulupakan.
Setiap malam minggu kamu menemaniku. Dan hari-hariku pun menjadi indah karena cinta kamu. Tapi setelah purnama kedua sehabis kau mengatakan ingin mengajakku ke bulan, kamu tidak hadir menemaniku. Aku begitu sedih. Tak percaya rasanya kamu tega membiarkanku berteman sepi. Aku begitu kecewa. Apalagi setelah malam Minggu selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya kamu tak hadir lagi, aku semakin kecewa. Hancur hatiku! Karena kamu pergi begitu saja tanpa pesan. Andaikan saja kita satu sekolah, ingin rasanya aku mendatangi kelasmu, lalu akan kukatakan kepada kamu, bahwa aku begitu kesepian tanpa dirimu. Tapi sekolah kamu berbeda. Kita bertemu dan bersatu pun, tanpa disengaja.
Kalau bukan karena classmeeting sehabis kenaikan kelas, mungkin kita tak pernah bertemu. Sekolahmu dan sekolahku mengadakan kompetisi basket, itulah yang mempertemukan kita. Ah, Leo... kamu telah mendustaiku. Mana janjimu ingin mengajakku ke bulan? Seumpamanya tidak jadi pun, asalkan kamu menemaniku setiap malam Minggu seperti dulu, aku akan bahagia. Tapi ketika itu, kamu tidak hadir-hadir lagi di malam Mingguku. Dan lama-lama aku tahu, ternyata kamu kepincut dengan gadis lain. Shinta. Ya, Shinta, namanya. Dian yang menceritakan semuanya tentang kamu. Dian tahu tentang kamu dari sahabatnya yang satu sekolah dengan Shinta. Shinta adalah seorang foto model yang wajahnya sering menghiasi sampul majalah-majalah remaja. Hatiku semakin hancur. Pantas memang kamu memilih Shinta ketimbang aku. Shinta seorang foto model, sedangkan aku apa? Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku. Tapi Leo, kenapa kita harus bertemu kalau akhirnya tidak bersatu? Kenapa kamu meninggalkanku kalau pada akhirnya kamu malah ingin kembali lagi kepadaku? Kenapa, Leo?
Aku kembali mendesah. Hembusan angin malam yang dingin, menyelimutiku. Kalau saja bukan malam, ingin rasanya aku duduk berlama-lama dahulu di taman ini. Dengan kegelisahan di hati, aku tinggalkan bangku taman yang jadi saksi bisu segala cinta Leo dulu kepadaku. Meninggalkan bayangan wajah Leo yang masih tersenyum di atas sana....
***
Aku kaget, begitu melihat Leo sedang duduk di samping kijang biru tuanya. Ia tersenyum ke arahku. Aku cepat-cepat membuang muka. Kikuk juga rasanya. Tapi aku berusaha biasa-biasa saja. Tak enak kalau Dian sampai tahu kekagetanku demi melihat Leo di seberang sana.
"Lia, aku duluan, ya." Rupanya Dian tidak mengetahui di seberang sana ada Leo.
"Iya, deh. Hati-hati di jalan, Dian. Kalau jatuh bangun sendiri, ya!" selorohku.
Dian cuma tersenyum sambil mengajungkan jari tangan kanan yang tengah.
Aku melirik ke arah Leo, dia masih memandangku. Aku jadi gelisah. Mang Rohman, supir pribadiku yang mengantar dan menjemput aku sekolah belum kelihatan batang hidungnya. Ini tidak biasa. Kalau saja bukan bubaran sekolah, mungkin aku begitu kikuk berdiri sendiri seperti ini sambil dipandangi oleh Leo di seberang sana.
Tet-tet-tet! Ah, itu Mang Rohman! Lonjakku kegirangan.
"Aduh, kenapa terlambat sih, Mang?" gerutuku, sambil membuka pintu mobil.
"Wah, jalanan macet, Non. Apalagi ini hari Senin. Tahu sendiri deh bagaimana keadaan jalan kalau hari Senin sore," ujar Mang Rohman membela diri.
Aku cuma manyun.
Ketika mobil berjalan, aku menoleh ke arah Leo. Duh, dia melambaikan tangan. Entah mengapa, aku tersenyum untuknya.
Sesampainya di rumah, hatiku tidak tenang. Pintu kamar aku kunci. Dengan tergesa-gesa, aku buka laci meja belajarku. Aku keluarkan semua isinnya. Di tumpukan terakhir, aku menemukan barang yang aku cari. Foto Leo berukuran 5R. Aku pandangi wajah tampan dengan seulas senyum menawan itu. Ah... aku lempar foto berbingkai indah itu ke atas ranjang. Aku pandangi langit-langit kamar. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku rindu dengan Leo. Lambaian tangannya tadi di sekolah membayangiku terus.
"Lia! Lekas mandi dan makan." Suara Mama membuyarkan lamunanku.
"Sebentar, Ma," sahutku
Aku usap wajahku, lalu bergegas ke kamar mandi.
Malamnya, ketika aku sedang melihat acara musik di tv, Mama memanggilku.
"Ada apa, Ma?" Aku menghampiri Mama.
"Di depan ada Leo." Aku kaget mendengar penjelasan Mama yang tiba-tiba itu. "Mama minta, kamu temui dia. Mama tahu, luka hatimu karena Leo memang masih membekas. Tapi Leo tadi meminta dengan sangat, ingin bicara dengan kamu. Jadi saran Mama, temui dia dulu, ya," ujar Mama. Bijaksana sekali Mama ini, gumamku dalam hati. Mama memang tahu semua apa yang pernah terjadi antara aku dan Leo.
Dengan senyum, aku turuti saran Mama itu. Dan kalau aku mau jujur pun, aku akan menemui Leo tanpa mesti dipinta oleh Mama.
Di ruang depan, aku lihat Leo sedang duduk di bangku dekat pintu.
"Hai!" sapanya, ramah sambil tersenyum.
Aku tidak menyahut. Langsung duduk di hadapannya.
"Apa kabar, Lia?"
Aku kembali tidak menyahut. Leo tampaknya gugup sekali. Kurundukkan kepalaku. Kupandangi lantai karpet yang kupijak. Sedangkan jari-jari tanganku memainkan ujung kaos biru mudaku.
"Lia...."
Aku menoleh. Leo memandangku lekat-lekat.
"Aku... aku minta maaf."
Aku kembali menunduk.
"Aku akui, aku bersalah sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku, Lia?"
Aku tak menjawab.
Leo akhirnya diam.
Hening.
"Bagaimana kabar Shinta?" tanyaku memecah kesunyian.
Leo tampaknya tidak enak mendengar pertanyaanku. Ia merunduk.
"Lia... aku minta maaf," katanya. "Aku salah pilih. Aku bersalah pada kamu. Shinta bukan gadis idamanku. Dia terlalu glamour, penuh hura-hura dan punya cinta di mana-mana. Aku begitu menyesal. Kenapa aku dulu meninggalkan kamu. Aku...." Leo tidak meneruskan kata-katanya. "Ah, sudahlah. Aku tidak ingin membicarakan Shinta," kata Leo akhirnya.
"Kenapa? Bukankah enak pacaran sama foto model? Terkenal, dan selalu jadi sorotan media massa."
Leo diam saja.
"Lia, aku minta pengertian kamu."
"Pengertian apa? Bukankah sudah cukup kamu menyakitiku. Mendustaiku?"  Nada suaraku meninggi. "Pengertian apa yang kamu maksud?"
Leo tidak menjawab.
Hening lagi.
"Surat yang kuberikan melalui Dian sudah kamu terima?"
Aku pandang Leo. "Kenapa memangnya?"
"Kalau begitu aku mau permisi saja," Leo berdiri. "Aku cuma mau bilang, dapatkah kita seperti dulu lagi? Tak ada gadis lain di hatiku selain kamu, Lia."
Aku diam.
"Hanya kamu yang ada di hatiku, Lia. Aku jujur."
Aku merunduk.
"Aku permisi. Kalau boleh, malam Minggu nanti aku ke sini lagi, ya?"
Aku masih diam.
Aku pandangi langkah-langkah Leo keluar. Setelah masuk ke dalam kijang biru tuanya, mobil itu melaju membawa sepotong hati yang kecewa. Membawa dan menyeret perasaanku yang kacau tak menentu.
Ah, Leo... kalau aku boleh jujur, cintaku masih milik kamu. Tak ada pemudai lain di hatiku selain kamu. Datanglah di malam Minggu-malam Minggu seperti dulu, Leo.
Karena, cinta ini masih milik kamu.

Tidak ada komentar: