Senin, 22 November 2010

Cemburu Aku

mengertilah, sayangku
rasa ini membakar tenggorokanku
meradang panas mencekat nafas
berdentum-dentum di kepala
buatku terhuyung

segenap cinta sekujur jiwa
melahirkan apa yang kurasa
tatkala aku harus hadapi
hatimu tak sepenuhnya untukku,
ketika  keduapuluh jari-jariku
terasa beku dan membiru
saat kau berlari
seraya memeluk keping-keping
hatimu untuknya

tahukah, jatung hatiku
aku harus memeluk tajamnya kenyataan
menelan tanpa mengunyah duri-duri keadaan
melatih hatiku dengan gada dan palu
hingga desir-desirnya terbiasa
saat kau bersamanya
ada atau pun tidak maklumat darimu
terucap atau pun tidak berita janjimu padanya

mengertilah, kasihku
cinta ini sudah jadi milikmu
tak bisa kubunuh demi 'tuk binasakan
rasa kronis berkarat ini
sama seperti kau tak bisa hapuskan dia
dari semat beledu hatimu

lihatlah, empunya jiwaku
aku tetap berdiri tegak di sini
menantimu juga berlari untukku
membasuh memar hatiku
dengan kecupan hangat cintamu

Sajak CINTA Kita

Tadinya urung niat
saat hendak berkata-kata tentang cinta.
Malu karena mungkin terlalu dini
untuk bersajak dan bermimpi.
Jangan bilang siapa-siapa,
jika sebenarnya aku mau
kamu menyentuhku setiap saat.
Jangan bilang siapa-siapa,
jika aku ingin suatu hari nanti
kamu menjadi ayah dari anak-anakku.
Jangan bilang siapa-siapa,
jika aku bermimpi tercipta dari rusukmu.
Aku tak pandai bersajak.
Tapi semoga sajak ini bisa lafalkan doa
untuk wujudkan mimpi.

Sekantong Penuh Cinta Hari Ini

Aku hanya punya cinta.
Sekantong penuh cinta pada hari ini.
Kadang lihat sendu
ingin kubagi dua jatah cinta hari ini.
Biar sendu rasakan setengahnya cinta.
Aku hanya punya cinta.
Kukumpulkan dari tiap hempasan
nafas tak sengajamu.
Sekantong penuh cinta pada hari ini.
Kubaringkan lelahku di dadamu.
Lalu, sesaat kusadar ada lubang di situ.
Mungkin luka.
Bekas luka lama.
Hitung-hitunganku bekerja keras.
Kurasa cukup sekantong cinta ini
'tuk tambal luka itu.
Ini, kuberikan padamu saja.
Sekantong cinta.
Tidak kubagi dua.
Sekantong penuh.
Besok mungkin bukan nafasmu,
tapi keringatmu yang akan berikan aku.
Sekantong penuh cinta lagi.
Tenang saja, cinta tak akan habis....

DIA DATANG MALAM INI

Angin berkesiur cepat. Menebarkan aroma dingin. Rumpun asoka di halaman depan bergoyang. Samar terlihat seperti tangan-tangan setan melambai. Mengajaknya pergi ke suatu tempat, sekadar menghilangkan kepenatan. Tidak hanya terpaku menanti kehadiran seseorang di ambang pintu yang kerap terbuka.
Almira menghela napas panjang. Ia tidak lagi berdiri di ambang. Ia putuskan duduk di sofa setelah lelah hanya berdiri. Pintu tetap ia biarkan terbuka lebar. Meski keyakinan pada diri mulai menipis.
Suaminya tidak akan pulang malam ini. Seperti malam-malam kemarin. Penantiannya akan berujung pada kesiaan. Padahal betapa ia berharap, ada sesosok membuka pintu pagar yang tidak pernah ia gembok. Sesosok itu mendekat padanya. Merangkumnya erat dalam dekapan. Mendaratkan ciuman hangat pada bibirnya. Di antara desah napas yang makin memburu, sesosok itu mengajaknya memuncaki bulan seperti di awal-awal pernikahan mereka. Tapi tak pernah. Sampai ia tertidur di sofa, lalu pagi membangunkannya, sesosok itu tak pernah pulang lagi. Apalagi mengajak memuncaki bulan.
Almira menatap jam dinding. Tengah malam tepat. Dimana suaminya sekarang? Apa yang sedang ia lakukan? Mabuk-mabukan di sebuah pub? Menggoyangkan tubuhnya serupa cacing kepanasan di sebuah diskotik? Atau seperti bisik-bisik tetangga, tengah memuncaki bulan dengan seorang perempuan yang ia kutip dari pinggir jalan?
Almira mendegut ludah. Omongan tetangga tidak saja membuat telinga panas, tapi sudah membakar hati. Mengelus dada, pilihan terakhir yang dia ambil, setelah berusaha bertanya pada suaminya. Karena selalu menanyakan kebenaran itu sama saja dengan menambah luka bathin. Ucapan suaminya, membuat ia tercampak pada cadas batu. Mengingatkan kalau ia tidak sempurna sebagai seorang perempuan.
Sepuluh tahun mengarungi lautan pernikahan, suaminya tidak hanya butuh tubuh hangatnya di malam-malam sunyi, atau menyiapkan makanan di meja dan mengurus segala keperluannya. Suaminya menginginkan anak darinya. Itu yang tidak bisa ia beri. Karena ia tak lebih seperti ilalang, tumbuh subur tanpa pernah berbunga apalagi berbuah.
Dari sofa, Almira menatap keluar. Hitam berjelaga. Samar berbayang bunga asoka melambai-lambai tertiup angin yang semakin kencang. Angin itu seolah mengabarkan, hujan hampir tiba.
Tidak lebih lima menit kemudian, hujan benar-benar sampai. Ia mampir di atap rumah Almira, di halaman depan, bahkan juga mampir pada tangan-tangan asoka yang terus melambai.
Angin terasa lebih kencang lagi basah. Dingin semakin mengental. Almira putus harapan. Suaminya tidak akan pulang lagi malam ini. Tidak mungkin dalam cuaca sekacau ini, suaminya berlari menerobos hujan dan dingin hanya untuk berlabuh pada tubuhnya yang juga dingin.
Akhirnya Almira menutup pintu depan. Sebelum membuka pintu kamar lirikan matanya membentur jam dinding. Pukul 02.25 WIB.
Malam ini, lagi-lagi Almira akan bercinta bersama sepi, di atas ranjangnya sendiri.
***
Siang berkerak. Almira sedang beberes di dapur ketika suaminya datang. Gegas Almira mencuci tangan, melepas celemek yang melekat di tubuh dan merapikan rambut yang pasti berantakan, dengan sisiran tangan kanan. Ia ingin tampil menawan di depan suaminya.
Tanpa menatap, apalagi mengajak bercakap, suaminya masuk ke dalam kamar. Almira mengekor dari belakang, melepas beberapa semacam pertanyaan.
"Abang dari mana?"
"Kerja."
"Sampai dua minggu?"
"Keluar kota ," sahut suaminya, dingin melebihi es. Ia lepas dasi yang mengikat leher. Busana yang ia kenakan sangat rapi, wajahnya sesegar buah yang baru dipetik. Tidak terlihat kusut dan lelah seperti baru pulang dari luar kota.
"Abang tidak pamit. Aku cemas menunggu."
"Apa harus?"
"Tentu saja."
Bibir suaminya merapat. Sama sekali tidak ada celah walau hanya sekadar untuk keluar masuk udara. Setelah melepas baju suaminya telentang di atas ranjang. Kedua matanya memejam.
Almira tidak akan menyerah lalu keluar dari kamar. Kali ini, ia harus tahu darimana saja suaminya selama dua minggu ini. Apa-apa saja yang ia lakukan, dan mengapa ponselnya selalu tidak aktif ketika Almira hubungi.
"Dari mana saja Abang dua minggu ini?"
"Kau ingin tahu?" pada dingin suara itu, Almira mendengar ada campuran rasa jengkel.
"Ya."
"Aku berkemah di depan sebuah sekolah taman kanak-kanak."
"Untuk... apa?"
"Untuk apa katamu? Apa lagi yang bisa kulakukan di sana selain menatapi bocah-bocah mungil itu dan membayangkan betapa bahagianya aku, jika salah satu dari mereka berlari kepadaku seraya meneriakkan kata Papa," ucapan itu, seperti peluru yang muntah dari moncong. Melesat cepat lalu bersarang tepat di jantung Almira.
Tanpa kata, tanpa menatap, Almira mundur, keluar dari kamar. Setelah daun pintu tertutup, tubuhnya bersandar di sana . Kembali suaminya menanam luka di hati Almira. Jika boleh memilih, lebih baik suaminya meninggalkan lembam biru di sudut mata Almira ketimbang harus mendengar ucapan itu. Karena lembam biru itu akan tersaput oleh waktu. Sementara ucapan itu akan tetap bersarang di hati Almira.
***
Angin berkesiur cepat. Menebarkan aroma dingin. Rumpun asoka di halaman depan bergoyang. Samar terlihat seperti tangan-tangan setan melambai.
Almira membuka daun pintu lebar-lebar. Membiarkan angin malam berebut masuk. Beberapa angin itu mengelus wajah dan tubuhnya, sehingga rambut dan rok yang ia kenakan seperti menari-nari ke belakang.
Almira berdiri tepat di ambang. Menatap pada langit, yang lebih mirip karpet hitam terbentang lebar. Entah kemana bulan juga bintang pergi malam ini. Mereka hanya meninggalkan hitam pada langit.
Angin bertiup lebih kencang lagi. Suaranya mendesis-desis di telinga Almira. Ia menelan nafas pelan-pelan. Kemana lagi suaminya pergi malam ini? Terkadang, Almira malas menebak-nebak. Karena pada akhirnya, selalu ia tidak tahu apakah tebakannya benar atau tidak. Karena setiap kali ia bertanya pada suaminya, bukan jawaban yang ia terima. Justru suaminya akan mencampakkan Almira pada cadas batu. Padahal Almira sudah cukup senang, andai suaminya mau menjawab. Walau ia harus mendengar jawaban dusta.
Almira bersandar pada sisi pintu dengan mendekap tangan di dada. Sunyi terasa mencekik perasaan. Saat seperti ini, ia ingin suaminya ada di sampingnya. Tidak perlu merayunya dengan ucapan beraroma anggur memabukkan. Cukup jemari tangan mereka saling mengulum dan mata mereka menatap sepenuh kagum pada bocah yang belajar merangkak di lantai. Lalu Almira akan terpekik bahagia ketika dari mungil bibir si bocah itu terucap kata mama dengan nada patah dan kaku.
Impian sangat sederhana, tapi tak akan pernah bisa terwujud. Ia bukan perempuan sempurna. Sejak sembilan tahun lalu dokter sudah membuat segalanya mustahil ketika mereka mengangkat rahim Almira. Ditambah suaminya menolak tegas, ketika Almira berhasrat mengangkat seorang anak.
Malam semakin mati. Bangkainya berserakan di halaman rumah, meninggalkan aroma dingin. Dingin itu terasa berkeliaran. Menyentuh-nyentuh kulit Almira. Bahkan terkadang terasa sampai mencubiti tulangnya. Tetapi Almira tidak akan menghindarinya dengan cara menutup pintu rapat-rapat lalu bergelung di balik selimut dalam kamar.
Almira tersentak, di hitam langit, ada segaris cahaya berkilau, lalu meletuskan suara guntur. Tipis-tipis hujan menari. Mampir di depan rumah. Ia mendesah. Setiap menunggu suaminya di ambang pintu, mengapa selalu saja diakhiri oleh hujan?
Akan ia mengalah pada hujan, ketika samar ada bayangan yang mendekati pintu pagar. Bayangan itu membuka pintu pagar yang tidak pernah ia gempok Almira dikepung bahagia. Itu pasti suaminya.
Ada senyum di bibir Almira. Bayangan itu sudah menjelma menjadi suaminya, berdiri tepat di hadapannya. Senyum Almira rontok melihat sesuatu di gendongan suaminya.
"Apa itu?"
"Bayi. Untukmu."
"Bayi siapa?"
"Penting bagimu ini bayi siapa?"
Almira mematung, menatap bayi itu. Sigap tangannya menangkap, ketika suaminya menyerahkan padanya.
Suaminya melangkah masuk. Almira mengekor dari belakang.
"Abang katakan dulu, ini bayi siapa?"
"Urus saja. Dulu, kau yang ribut ingin mengadopsi anak."
Almira membuka kain yang menutup wajah bayi itu. Mata bayi itu terbuka, lalu sudut bibirnya memanjang, membentuk sebuah senyuman. Almira tersentak. Wajah itu seperti jelmaan suaminya.

Aku Ingin Menikah Sayang

"Aku ingin menikah, Sayangku!"
      Itu awal dari suratnya. Membuat jantungku berdegup kencang, dan menahan rasa dalam baur. Kukuatkan diriku untuk melanjutkan membaca surat itu, perlahan.
      "Aku ingin menikah, Sayangku! Bukan karena semata aku ingin menunaikan hal yang selama ini diserukan oleh agama bagi umatnya yang telah akil-balig, tetapi aku ingin juga menikmati keindahan dan kebahagiaan pernikahan itu sendiri."
      Aku menggeleng tanpa sadar.
     "Bagiku, pernikahan merupakan sebuah kemantapan batin. Bukanlah hal yang mudah memang untuk menjalani sebuah pernikahan, suatu ikatan sakral yang tak bisa dipermainkan selayaknya ketika berpacaran. Tetapi aku inginkan itu. Aku ingin menikmati susahnya menjadi seorang istri, mempunyai anak dan mengurus mereka. Aku merindukan semua hal itu, dan aku menganggapnya sebagai suatu ibadah karena ada cobaan dan tantangan yang harus aku lalui. Tidak mudah memang menjalani gasingan roda rumah tangga sementara aku juga tengah meniti karier."
      Lagi-lagi aku menggeleng tanpa sadar. Padahal wajah manis itu tidak sedang berada di hadapanku. Ia berada jauh, sangat jauh di suatu tempat.
      "Bukankah sudah sering kuceritakan dulu bahwa, aku ingin sekali menikah muda. Kau mau tahu alasannya? Karena aku merasa tertantang untuk melakukan hal itu. Boleh jadi semua itu obsesi. Tetapi menjalani hal berat tersebut, aku akan merasa bangga menjadi seorang istri sahih, sekaligus menyandang status ibu bagi anak-anakku. Kau tahu, betapa bahagianya dapat melihat perkembangan mereka dari kecil hingga dewasa. Dan ketika penatku buncah setelah seharian bekerja, aku akan dihibur oleh celoteh kecil dari anak-anakku. Anak-anak yang kulahirkan sendiri dari rahimku. Lagipula, aku juga merasa sudah melakukan perbuatan berpahala jika dapat mengurus suami yang aku cintai dengan dengan layak. Bukankah itu juga merupakan limpahan cinta yang aku aplikasikan dalam perbuatan? Setiap malam pula, aku akan berdandan secantik mungkin di hadapan suamiku agar aku dipeluknya, dan aku dan ia akan bercumbu sampai fajar."
      Aku bergidik. Takut membayangkan kenyataan itu.
      "Aku tahu, mungkin semua keinginanku ini terlalu picik. Aku pun sadar, ini tidak gampang untukmu. Sebab aku tahu, terlalu banyak hal yang mesti kau selami sebelum benar-benar dapat mewujudkan keinginanku tersebut, menikah! Tetapi keinginanku tersebut bukanlah hal yang muskil. Aku yakin Allah selalu akan memberi jalan bagi umatnya yang ingin berusaha. Allah akan membuka pintu rezeki kau dan aku. Meski aku sadar, saat ini kepapaan kita merupakan aral yang menghambat perwujudan keinginan aku itu. Maafkan aku jika ini terlalu muluk dan sedikit obsesif."
      Aku hela napas panjang. Pikiranku berkecamuk.
      "Kau tahu, Sayangku? Betapa aku ingin menikah. Betapa aku ingin mengamalkan ibadah nikah. Dengan menikah, berarti aku telah menyempurnakan ibadahku dan juga agamaku. Menikah bukanlah hal yang menakutkan, setidaknya menurut versiku, karena semua tak akan berbeda, kecuali hidup bersama dalam tanggung-jawab dan kewajiban masing-masing."
      Aku semakin kalut. Menggigil dalam diam.
      "Sayangku, dengan menikah bukan berarti kau akan terpasung bagai penjara. Tidak. Kau masih bisa beraktivitas seperti biasa. Yang berbeda hanyalah dimensi dan ruang yang berbeda pula. Kau masih akan memiliki waktu luang. Begitu pula sebaliknya dengan aku. Kita hanya perlu mengganti status kita yang lajang dengan suami bagi kau, dan istri bagi aku."
      Aku masih membaca suratnya dengan hati galau.
      "Aku bisa membayangkan betapa bahagianya dapat memiliki kesempatan untuk berumah tangga. Betapa semua ini adalah anugerah yang tidak setiap orang mendapatkannya. Kau dan aku akan saling menyayangi. Saling berbagi. Saling bercengkerama. Dan mungkin saling bertengkar untuk memadukan ketidaksepahaman. Namun aku yakin, kita adalah pengawal dan penjaga hati bagi diri kita masing-masing. Kau akan merawatku, demikian pula sebaliknya. Aku akan merawatmu. Kita akan sehidup-semati!"
      Aku terhenyak. Kalimat dalam suratnya menohok dadaku. Aku terlalu miskin untuk mewujudkan keagungan yang dikehendakinya!
      "Sayangku, keinginan ini sesungguhnya sudah kupendam sejak lama. Namun selama ini aku bagai pecundang yang tidak berani mengungkap. Hati dan batinku tidak akan pernah tenang selamanya. Bahwa hubungan yang telah kita bina selama ini akan tersuruk di dalam limbah dosa. Bahwa hubungan yang telah kita rajut selama ini akan terempas oleh kekerdilan kita yang salah mengarti. Sesungguhnya banyak godaan yang kelak akan menghancurkan hidup aku dan kau jika kita masih bertahan dan menepis 'pernikahan sakral' yang merupakan ibadah itu."
      Aku tepekur serupa patung.
      "Sayangku, tentulah kau akan mengartikan semuanya ini terlalu naif bagi kita yang belia. Mungkin. Apalagi aku masih saja merintis karierku yang baru seumur jagung. Demikian pula dengan kau yang baru ingin merdeka dan mandiri, terlepas dari tanggung jawab kedua orangtuamu yang sudah uzur. Tetapi aku yakin, semua itu dapat kita padukan seiring-sejalan jika kita memang bersikeras menjalaninya dengan sepenuh hati. Ya, sepenuh hati. Seperti cinta yang telah kita bina selama ini."
      Aku memejamkan mata. Mencoba untuk meredakan kecamuk di benakku.
      "Pikirmu, kita ini mungkin terlalu rapuh, dan berlagak tegar dengan membangun bahtera rumah tangga. Sayangku, pikirmu betapa bernyalinya aku yang berani mengarungi deru dan kerasnya ombak kehidupan dengan bahtera rumah tangga yang dinahkodai olehmu. Tetapi tidak, Sayangku. Tidak. Bukankah sudah kukatakan bahwa, Allah, Insya Allah, tidak akan membiarkan kita tenggelam jika bahtera rumah tangga kita selalu berada di jalan yang benar? Kalaupun ada gelombang, itu hanyalah riak-riak kecil dan merupakan cobaan hidup buat menempa kita menjadi tangguh dan kuat. Jadi, perkenankanlah aku mewujudkan impianku ini, Sayangku. Biarlah semuanya; karier dan cinta dalam rumah tangga kita seiring-sejalan dan berjalan secara alami."
      Aku mengusap wajah, mencoba menghalau resah dan gentar.
      "Menurutku, satu tahun sudah cukup untuk mengenal karakter kita masing-masing, dan aku rasa telah cukup mengenalmu. Apa pemahamanku ini salah?"
      Aku mengangguk tak sadar, lantas menggeleng cepat menggebah pengakuan nuraniku tadi.
      "Mungkin kau akan terbebani oleh permintaanku ini, Sayangku. Tetapi bukan maksudku membebanimu dengan masalah baru meski saat ini kau masih berkutat dengan masalahmu yang belum terpecahkan sendiri, yang saat ini tengah belajar untuk mandiri dan dewasa dan tak tergantung lagi oleh orangtuamu yang tergolong sederhana. Namun aku hanya tidak ingin kita terjerembab di dalam cinta yang telah tercemari nista. Terkutuklah kita nantinya, Sayangku. Dan aku lebih memilih hidup sengsara di dalam bahtera rumah tangga yang rapuh ketimbang harus menanggung beban dosa yang kita ciptakan di atas kenikmatan ragawi."
      Mataku mulai memanas. Tegarku diaduk haru. Aku teringat kedua orangtuaku yang sudah tua, serta dua orang adikku yang masih kecil-kecil, yang mesti aku tanggung. Berapa nyawa yang akan kuhidupi kelak?!
      "Tahajudlah, Sayangku. Keputusan ini memang mahaberat. Namun Allah pasti memberi petunjuk dan akan meringankan segala beban batin yang kau pikul."
      Aku seperti gila. Kuacak-acak rambutku sembari menggigit bibir. Airmataku sudah jatuh berlinang.
      "Maafkan aku, Sayangku. Aku merasa cinta terlalu sempurna untuk dikotori dengan nista. Bukan karena aku ini suci, namun justru karena itulah aku ingin mensucikan cinta kita. Menempatkannya di tempat teratas, dan jauh dari tagut."
      Aku menjerit tanpa sadar. Menelungkupkan kedua belah telapak tangan di wajahku yang sembap.
      "Sayangku, cinta yang suci akan menyempurnakan kita menjadi insan yang lebih baik. Menikah adalah ibadah. Dan bukannya mengikat kita serupa belenggu. Renungilah semua itu."
      Aku sesenggukan. Airmataku tak terbendung. Tiba-tiba menjadi lebih cengeng ketimbang bocah.
      "Biarlah kita belajar untuk menjadi dewasa di dalam pernikahan sakral ini, Sayangku. Biarlah waktu akan menempa dan membentuk kita menjadi manusia yang tegar di jalan yang telah kita pilih: Pernikahan! Jangan sangsi dengan keputusan mahaberat yang telah kita putuskan bersama: Pernikahan! Ketidakberdayaan dan kelemahan hanya belenggu yang senantiasa mengikat kita dalam mungkir, sehingga bila cuai kelak, maka kita akan dijerumuskan dalam sesat cinta terlarang. Aku tidak ingin kita jatuh dalam zinah. Dan penuhi permintaanku yang mungkin hanya kupinta seumur hidupku: Nikahi aku!"
      Aku seperti sudah tidak sanggup meneruskan membaca surat darinya.
      "Yakinlah dengan jalan yang kita pilih ini, Sayangku. Lalui semuanya dengan ikhlas."
      Aku menelentangkan diri di pembaringan, tubuhku lemas di antara tangisku yang sedu.
      "Atas nama cinta yang wangi, sudilah kau menikahiku, Sayangku. Seberat apapun keputusan itu. Karena aku yakin, jalan yang kau putuskan, suatu saat kelak, akan indah pada waktunya! Sebab Allah Maha Besar, dan akan membimbing serta menuntun kita dengan cahaya-Nya! Yakinlah!"
     Aku bangkit dari berbaring, masih berusaha meraih surat darinya yang kuempaskan sesaat tadi. Surat yang membuat aku seperti pengecut yang kehilangan nyawa. Surat darinya itu kulanjutkan sekilas dengan ekor mataku.
     "Aku tidak peduli, seberapa besar cintamu kepadaku. Mungkin juga kau tak pernah tahu, seberapa besar aku mencintaimu dan mengharap kau untuk menjadi pendampingku. Tetapi jika Allah menghendaki, maka kaulah yang akan dipilih-Nya untuk menjadi ayah dan imam untuk aku dan anak-anakku kelak."
      Aku menjatuhkan diriku di lantai, bersujud dan tafakur dalam tangis. Bimbing aku ya, Allah! Aku telah siap menghadapi semua 'cobaan' yang mungkin Engkau berikan kepadaku dalam bentuk pernikahan ini.

Cinta bukan perkara gemuk atau langsing

"Kenapa sekarang kamu gemuk banget?" tanya Rudi saat melihat perubahan pada bentuk tubuh Kezia yang begitu drastis.
"Ehm... ehm... ak-aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena liburan semester panjang dan aku tidak ada kerjaan." Kezia beralasan.
"Kok bisa? Dulu-dulu, kamu tidak pernah kayak begini. Memang ada apa dengan kamu?" tanya Rudi heran.
"Kan aku sudah bilang, aku tidak tahu. Manusia kan bisa berubah sewaktu-waktu. Betul, kan?" ujar Kezia berbohong.
"Oh, begitu....aku mengerti." Rudi hanya bisa pasrah dan tak bisa mengorek-ngorek lagi lebih dalam.
"Kenapa kamu ajak aku ke sini? Bukannya kamu sudah tidak mau ketemu sama aku?"
"Memangnya tidak boleh, ya? Aku cuma kangen."
Deg-deg-deg....
Jantung gadis itu berdetak lebih kencang meskipun hanya berselang beberapa detik. Mukanya merah padam, terdiam dengan hati tak menentu. Seakan tak percaya atas pendengarannya sendiri. Seakan menyangsikan hadirnya sosok tampan yang telah mengucapkan kalimat manis tadi, sungguh pun ia nyata berada di hadapannya kini. Sosok yang yang sampai detik ini masih dinantikannya itu.
Tak percuma hari itu ia berdandan dengan sangat cantik dan modis. Namun sayangnya....
Ya, itu tadi!
Disesalinya perubahan badannya yang sekarang agak melar. Namun begitu, tak disadarinya, sesungguhnya kecantikan di wajah seorang Kezia masih terpancar apalagi kalau ia tersenyum. Tidak terhalangi oleh badannya yang kini agak gemuk. Setidaknya tidak sampai melebihi obesitas dan sejenisnya.
"Masa? Kangen? Bukannya kamu sudah lupa sama aku dan menghilang begitu saja? Kamu sudah jadian sama Jenny sekarang, kan?" tanya Kezia dalam nada menginterogasai.
"Aku sudah tidak sama dia lagi. Dia sudah mengkhianati aku. Mungkin aku kena karma. Aku jadi sadar kalau aku dulu sudah jahat banget sama kamu!" Rudi mencoba meraih tangan Kezia, tetapi gadis itu berusaha menghindar. "Kenapa? Kamu sudah lupakan aku selama ini? Sudah tidak ada perasaan sayang lagi?"
"Bukan begitu!" elak Kezia.
"Tapi, kenapa?" tuntut Rudi.
"Aku sudah tidak bisa percaya lagi sama kamu. Dan ditambah lagi, aku belum siap!"
"Belum siap kenapa? Aku maklum kalau kamu belum bisa percaya sama aku. Tapi belum siap karena apa?"
"Karena aku sekarang gemuk! Aku tidak pantas bersanding di samping kamu!"
"Aku tidak terlalu mempermasalahkan itu, Kez. Asal kamu janji untuk menguruskan badan, diet, atau apalah namanya. Jadinya kamu juga yang cantik, kan? Pokoknya, aku tetap sayang sama kamu."
"Apa benar? Kamu pasti bohong! Jangan kamu sakit hati aku lagi! Please!"
"Iya, aku janji!"
Di cafe itulah Rudi dan Kezia kembali merajut hubungan percintaan mereka kembali. Kezia seolah-olah melupakan begitu saja perbuatan Rudi yang 'mendepak'nya karena kegemukan. Ia berselingkuh dengan gadis lain yang bertubuh langsing, Jenny. Namun sekarang cowok itu datang, dan kembali mengumbar kalimat gombal yang lebih dahsyat dari 'rayuan pulau kelapa'. Sehingga seorang Kezia dapat dibuainya hanya dengan sebaris kalimat maaf. Kali ini emosi dan ruapan amarah hati Kezia meluyak menjadi rindu dan sayang. Terhadap pemuda yang pernah mencampaknya begitu saja. Dan pemuda bernama Rudi itu berjanji dengan sungguh-sungguh akan menjaga Kezia dengan baik. Serta melunakkan standar pasangan yang diinginkannya, yaitu harus berbadan langsing.
***
Kezia menangis bahagia di atas tempat tidurnya. Di dalam kamar tidur yang bernuansa merah-jambu serta terdapat banyak hiasan bunga dan boneka. Rupanya, doa yang telah dihaturkan selama delapan bulan terakhir ini didengar oleh Tuhan. Rudi kembali lagi ke pelukannya. Tak percuma ia tetap setia dan menutup hatinya terhadap pemuda manapun yang mencoba mendekatinya.
Tok-tok-tok....
"Kezia, sudah malam. Ayo turun makan malam!" seru Mama sambil mengetuk pintu.
"Ehm... Kezia tidak lapar, Ma! Tadi juga sudah makan."
"Ah, yang benar? Ya sudah, tapi jangan bohong, ya?"
"Iya."
Rasa lapar Kezia hilang begitu saja tertutup oleh kebahagiaan. Padahal, sedari tadi ia hanya makan sereal di pagi hari dan minum jus mangga di cafe tadi bersama Rudi. Keinginan untuk diet tiba-tiba muncul mengikrar di dalam angannya. Ia jelas tidak ingin mengecewakan Rudi yang begitu tampan.

Kez, cinta itu platonis! Ia tidak berpamrih. Ia mau menerima kamu apa adanya! Jadi, untuk apa kamu menyiksa diri berlapar-lapar begitu? Jadinya, kamu bisa jatuh sakit lagi!

Suara hatinya muncul begitu saja begitu ia menutup mata sebentar. Tak diindahkannya suara batinnya tersebut, dan meneguhkan tekadnya untuk tetap berdiet keras supaya menjadi langsing. Tidak ada salahnya kan mempunyai tubuh langsing seperti dulu? Lagian, kan lebih sehat! begitu dalihnya dalam hati. Sesaat kemudian, lambungnya mulai mengeriut keroncongan, dan itu merupakan sirine kalau ia harus makan. Namun ia hanya menahan lapar dengan rasa sakit yang luar biasa.
Di dalam 'penyiksaan diri', ia bangkit dari tidurnya. Meraih buku hariannya di laci meja belajarnya. Dibukanya lagi buku hariannya yang bersampul putih bergambar piano dengan tuts-tuts khas hitam dan putihnya. Begitu dibuka, selembar kartu ucapan dari Olive, sahabatnya, terjatuh. Kartu ucapan yang berisi kata-kata bijak:

'Jangan pernah lagi menyentuh bagian lama dalam kehidupanmu yang telah membuatmu sedih, bingung dan menangis. Itu bukanlah kebahagiaan. Kebahagiaan itu pasti akan membuatmu bertumbuh dan tidak berkutat jatuh bangun di dalam lubang yang sama.'
Kezia teringat lagi kata-kata penghibur yang pernah dilontarkan sahabatnya itu
"Lupakan Rudi, Kez. Kalau dia memang cinta sama kamu, dia pasti menerima kamu apa adanya. Dia bisa menerima kehadiran kamu utuh sebagai seorang kekasih, bukan dari bentuk fisik. Bukan dari tubuh langsing atau gemuk, ringkih atau gembrot. Tapi murni berlandaskan hati."
Mengingat kalimat itu, airmata Kezia menitik. Tangannya refleks membuka lembar demi lembar buku hariannya itu. Ada begitu banyak tulisan yang menggambarkan hatinya yang patah dan retak karena Rudi. Rudi yang lebih memilih Jenny hanya lantaran perkara sepele. Langsing! Dalam intuisinya pula, Kezia merasa Jenny itu lebih cantik, pintar, kaya dan lebih segalanya darinya. Dilema pun muncul karena ia baru saja menyentuh masa lalu itu kembali, dan menerima meskipun pernah demikian menyakitkannya. Padahal, ia sudah berjanji kepada Olive untuk melupakan Rudi. Sebab ia sadar, sudah begitu banyak segi kehidupannya yang berantakan gara-gara Rudi. IPK-nya turun drastis. Badannya yang bertambah gemuk tak terkontrol karena stres. Hubungan dengan keluarga dan teman-temannya yang semakin renggang karena keegoisan Rudi yang melarangnya terlampau bergaul dengan kawan-kawan lamanya.
Sekarang, mestikah ditepisnya janjinya kepada Olive untuk memulai segalanya dengan hari yang baru, dan tak terkungkung oleh wajah tampan Rudi?
"Jangan musuhi makanan, Kezia! Makanan bukan musuhmu. Makanan adalah sahabat kita. Dia menopang hidup kita, menjadi darah dan daging bagi fisik kita. Musuhmu adalah dirimu sendiri, yang tidak dapat dapat melupakan masa lalu."
Kezia tersedu. Olive memang sedang tidak berada di hadapannya. Olive sedang tidak memarahi, terlebih-lebih menghakiminya. Tetapi ia merasa menjadi seorang pidana mati yang dilematis.
Ah, cinta itu memang telah membutakan nuraninya.
***
Seminggu kemudian....
Diet ketat yang telah dilakukan Kezia rupanya cukup berhasil. Bobotnya turun dari 65 kg menjadi 62 kg. Senyum bahagia tampak jelas di wajahnya. Celana pinsil yang tadinya agak sempit kini sedikit lebih longgar. Ia juga menyiapkan kue nastar buatannya sendiri untuk dibawakan ke rumah Rudi. Kezia memang ahli dalam hal memasak dan membuat kue. Mungkin itu juga yang menjadi alasan mengapa tubuhnya gemuk karena ia harus mencoba masakan dan kue-kue yang dibuatnya sendiri.
"Tante, Rudi-nya ada?" tanya Kezia pada Mamanya Rudi.
"Kezia? Oh, Rudi-nya lagi pergi sama Natasya."
"Natasya siapa, Tante? Temannya Rudi, ya?"
"Rudi belum kasih tahu kamu, ya? Mereka berdua kan sudah mau tunangan! Mereka lagi pergi ke toko emas pesan cincin," ujar Mamanya Rudi sambil tersenyum.
DUAARRRRRT!
Kezia merasakan gemuruh berdentam di atas kepalanya. Ia lunglai dan tubuhnya melimbung seketika. Ditahannya sekuat mungkin airmata yang meruap di pelupuk matanya dengan kerongkongan memerih. Toples kue nastar yang akan diserahkannya pada Rudi terjatuh, dan isinya terburai berantakan. Kezia tidak menjawab apapun dan langsung meninggalkan tempat kejadian. Tangisnya meledak, tak mampu dibendungnya lagi.
"Kezia, kamu tidak apa-apa?" tanya Mamanya Rudi prihatin, separo berteriak dan berusaha mengejar Kezia yang sudah membuka pintu mobilnya.
***
Buku harian tempat pencurahan hatinya itu kembali terisi....
'Aku hanya budak cinta yang gemuk. Pacarku pergi meninggalkan aku karena aku gemuk. Padahal, gemuk itu alamiah dan merupakan proses pertumbuhan yang tak dapat aku elakkan. Namun, ia tidak bisa menerimanya. Percuma saja aku hidup karena kalaupun aku kurus, aku tidak bisa meraihnya kembali. Selamat tinggal!'
Dengan wajah sembab dan berurai airmata, Kezia mengambil sebilah pisau silet dari toilet. Diletakkannya mata pisau silet di atas pergelangan tangan kirinya. Bermaksud memotong urat nadi yang mengalirkan darah di sana. Dan baru saja ia hendak mengiris urat nadinya, tiba-tiba Olive masuk mementangkan pintu kamarnya...

Tentang Kesetiaan

Cewekku namanya Caca. Sebenarnya dia baik. Apalagi wajahnya cantik dan dia adalah seorang yang periang. Suasana jadi selalu ramai. Dan malam ini, aku seneng banget bisa berduaan sama Caca setelah kesibukan di kampus. Malam ini indaaahh.... banget! Tapi sebuah sms telah mengacaukan semuanya. Dan Caca yang cantik dan baik itu, berubah bagai kucing yang sedang mengamuk.
Caca menyodorkan ponselku setelah dia membaca sms yang masuk tadi. Caca memang selalu 'menguasai' ponselku saat kami sedang bersama-sama. Wajahnya sereemm banget! Aku jadi penasaran. Ada yang nggak beres nih!
Ternyata dari Maya!
'Malam. Sebel deh nggak bisa ketemu elo. Dari kemarin adaaa aja alasan. Skrg lo dmana?'
"Ada ya, temen yang rajin laporan; jam segini ada di sini, lagi begini, mau begitu, nanti begini, besok bla-bla-.bla! Selalu ada selamat pagi, sore, malam... terus selalu mau tahu ada dimana, ngapain...." Caca melotot. "Sumpah! Sebenernya hubungan kalian sampe mana sih? Ada apa? Nggak mungkin cuma sobatan. Atau.... Temen Tapi Mesra?"
Aku memilih diam. Caca pantas marah. Dia pasti cemburu. Hei, cemburu kan tanda cinta. Berarti Caca cinta banget dong sama aku!
"Gue juga punya sobat cowok, Bim! Tapi nggak gitu-gitu banget! Gue bisa hapal, dalam satu minggu, sms dari cewek reseh itu bisa masuk ke hp lo lebih dari dua puluh kali! Hebat!"
Aku masih diam.
"Gue pikir, setelah petengkaran-pertengkaran kita, lo akan membatasi hubungan lo sama cewek itu. Terutama setelah pertengkaran terakhir kita minggu lalu. Eh... ternyata hasilnya masih sama ! Lo masih kayak begini?"
"Ca, coba simak lagi. Baca sekali lagi. Dia bilang kan sebel nggak bisa ketemu gue dan selalu ada alasan. Nah, berarti gue udah berusaha menjauhi dia, kan? Ayolah, jangan rusak malam ini, Ca!"
"Malam ini udah kelewat rusak! Gue mau pulang!"
Caca beranjak tanpa babibu lagi. Malam ini keindahannya sudah berakhir.
***
Aku bukan sahabat yang baik. Aku juga bukan kekasih yang baik. Aku tak tahu apa sebutan yang tepat untukku. Saat sahabatku membutuhkan aku, aku malah mengabaikannya demi sebuah janji pada kekasih.
Caca berhak marah dan cemburu. Cewek mana pun pasti akan berlaku sama. Maya adalah salah satu kawan baikku sejak kecil. Bersama teman yang lain, kami selalu bersama-sama. Kemudian kami semua pisah sekolah, tapi kami tetap berkomunikasi dan janji bertemu. Terakhir hubungan itu masih tetap terjalin saat kami masing-masing duduk di bangku SMA. Sejak kami duduk di bangku kuliah hubungan itu terputus. Kami masing-masing sibuk. Saat aku mulai pacaran sama Caca, tiba-tiba Maya menghubungiku lagi dan komunikasi kami kembali lancar. Tapi Caca nggak bisa menerima. Di mata Caca, aku dan Maya terlalu dekat.
Maya benar-benar sahabatku. Tidak lebih. Kalau menurut Caca aku terlalu memperh atikan Maya, benar! Aku tahu banyak tentang Maya . Di balik sikapnya yang rame, ternyata suatu saat dia bisa begitu rapuh dan menja di orang yang sangat lemah. Maya memang lemah. Dia tidak seperti kelihatannya. Kalau sudah begitu aku hanya bisa me meluknya. Berada di dekat Maya membuatku merasa dibutuhkan.
Maya tahu tentang Caca. Jelaslah, aku ceritakan semua hal tentang cewek cantikku itu pada Maya. Kepada Caca aku juga bercerita tentang sahabatku Maya. Dan mereka sudah pernah kupertemukan. Mulanya Caca bisa menerima kalau aku sobatan sama Maya. Tapi lama-lama kemudian Caca mulai menunjukkan tanduknya. Dia mulai nggak suka melihat aku teleponan sama Maya. Dia juga benci banget kalau melihat sms Maya muncul. Aku juga bingung. Aku nggak mungkin memutuskan persah abatanku dengan Maya begitu saja, terutama karena aku tahu banyak apa yang sedang menimpa Maya... Maya sedang membutuhkan seseorang. Kebetulan orang itu adalah aku.
***
Hari ini aku ingin sekali menelepon Caca. Aku ingin minta maaf dan ingin merayunya. Tapi Caca pasti masih sebel banget sama aku. Kalau masih marah begitu, dia akan menolak teleponku atau malah menutupnya. Paling sial kalau dia malah ngamuk dan mengeluarkan kata-kata mantra di telepon. Wah, mending tunda dulu deh menelepon dia. Biar dia tenang dulu. Kalau sudah tenang, aku yakin Caca pasti mau menerima teleponku dan memaafkan aku. Malah Caca pasti kangen sama aku. Hah!
Mending aku telepon Maya dulu. Aku akan jelaskan soal smsnya kemarin malam itu.
"Haaa... lo jahat!"
Itu kalimat pertama yang aku dengar begitu ponselku nyambung ke nomornya.
"Gue sibuk, May!"
"Haaa... sok sibuk lo! Sampe nggak sempet hubungin gue. Jahat!"
"Udah ah jangan marah-marah mulu! Kan sekarang gue hubungin elo. Gimana, lo sehat kan, baik-baik aja kan?"
"Lumayan. Kemarin agak capek dan kambuh lagi. Tapi baik-baik aja, kok. Sekarang gue lagi nyiapin sumpahan buat lo!"
Itulah Maya. Ceria, rame dan sembarangan. Gayanya itu bikin aku menyukai persahabatan ini. Tapi Caca....
"Kenapa lo? Kok diam aja? Haaa... takut ya sama sumpahan gue? Tenang, sumpahan yang gue siapin ini nggak jahat-jahat banget. Cuma... 'sumpah jerawat lo tambah banyak, sumpah lo nggak ganteng lagi, sumpah lo nggak kawin-kawin.... hahaha!"
"Gue lagi berantem sama Caca!"
"Wah, seru tuh! Kenapa lagi?"
"Gara-gara sms lo semalem."
Sepi.
"May?"
"Gue jadi bingung. Gue kan cuma sms doang. Sms gue kan biasa aja, Bim. Nggak ada tanda-tanda apa pun. Apa lagi sampe ke pornografi."
"Iya, gue juga udah berusaha jelasin ke Caca, tapi dia nggak ngerti. Maafin Caca juga ya, May!"
"Maksud lo, selama ini hubungan kita jadi mengganggu hubungan lo sama Caca? Bim, aku kan nggak ngapain-ngapainin elo! Kita kan udah sobatan sejak kecil, sejak Caca belum ada di antara kita!"
Wah, aku nggak ngira Maya bisa protes begini.
"Pantes belakangan ini lo sulit banget dihubungi. Sms gue nggak dibales. Telepon gue nggak dijawab. Gue pikir lo bener-bener sibuk di kampus. Taunya lo bermaksud jauhin gue!"
"Eh, tapi beneran gue sibuk di kampus, May! Suer!"
Sepi.
"Ya, udah. Gue seneng kabar lo baik-baik aja. Lo tetep sahabat gue yang paling baik yang paling bawel... bye! Jaga diri baik-baik ya, May!"
Tep.
Baru saja ponsel kumatikan, di depanku sudah berdiri Caca plus dengan muka cemberutnya yang bikin cantiknya bener-bener hilang.
"Pantes dihubungin dari tadi hp lo sibuuukk terus."
"Caca? Ngapain ke sini?" Sumpah aku kaget. Nggak nyangka pacarku datang duluan sebelum aku minta maaf dan merayunya.
"Gue ke sini mau ngambil tas gue yang semalam ketinggalan di mobil lo! Jangan GR!" Caca beranjak ke mobilku yang kebetulan tidak kukunci. Aku segera menarik tangannya.
"Ca, maafin soal semalam ya."
"Aduh, Bim! Cape deh kalo cuma denger maaf, maaf, maaf."
"Abis gue mau ngomong apa lagi?"
Tak disangka tiba-tiba Caca meraih ponsel di tanganku dengan gerakan cepat. Dia mengecek sesuatu. Lalu...
"Barusan aja lo abis nelepon dia, ini buktinya!" Caca menunjukkan register di ponselku. Aku nggak bisa mengelak. "Sementara semalam kita baru berantem soal ini, eh lo udah asyik-asyik teleponan sama dia."
"Gue lagi jelasin ke dia, supaya dia nggak hubungin gue lagi...."
"Basi!"
"Bener, Ca!"
Caca tak menggubris kata-kataku, dia beranjak. Aku mengejarnya.
"Kita putus, Bim!" Caca menepis tanganku.
Oalah! Putus dari Caca? Bisa gempa bumi aku! Aku nggak mau kehilangan cewek cantik ini. Aku harus menyelamatkan hubungan ini.
"Plis, Ca. Masa putus sih? Apa sih yang salah dengan persahabatan gue dan Maya?"
"Ya jelas salah! Lo kan udah punya cewek. jaga dong perasaan cewek lo!"
"Oke, kasih gue kesempatan. Apa yang harus gue lakukan?"
Caca berhenti. Menatapku dengan matanya yang dingin.
"Cewek mana pun akan berlaku sama, Bim. Jangan sakitin gue! Kita udah sering bertengkar soal Maya, Maya...! Gue capek. Lo harus pilih gue atau dia!"
"Kenapa harus milih? Gue nggak perlu milih, Ca, karena lo memang pacar gue, sedangkan Maya cuma temen."
"Kalo emang gue begitu berarti buat lo, jauhin Maya. Sejauh-jauhnya! Cewek itu juga harus pergi sejauh-jauhnya dari lo. Cuma itu."
Aku terpekur. Lama kemudian aku mengangguk.
***
Aku menepati janjiku pada Caca. Sms dan telepon Maya tak kugubris. Lama-lama Caca mulai percaya lagi padaku dan aku merasa damai. Lama-lama juga Maya merasa kalau aku menjauhinya. Mungkin Maya kecewa. Suatu hari dia mengirim sms:
'Kangen bngt ngobrol sama lo, becanda, tertawa. Tp gw tau, ada Caca di sisi lo. Dan lo lbh memilih menjaga hati Caca. Tapi, Bim, berada di sisi lo membuat gw lbh kuat....'
Aku trenyuh membaca kalimat itu. Maya mungkin sedang kesakitan. Dia butuh seseorang. Tapi aku terikat janji pada Caca. Aku berharap ada orang lain saat ini di dekatnya.
***
Hubunganku dengan Caca semakin mulus. Sampai kemudian sms Maya membat pertahananku mulai goyah.
'Lo adlh sahabt terbaik gw. Lo yg slama ini memberi semangat bwt gw. Gw udh cb brtahan, Bim. Tp gw bener-bener butuh lo. Plis, Bim.'

Berapa lama aku tak menghubungi Maya? Sebulan dua bulan.... Aku tak ingat lagi. Maya sudah terlalu kesakitan. Saat seperti itu Maya butuh genggaman tanganku. Aku harus menemuinya. Tapi tiba-tiba Caca muncul.
***
Aku bukan sahabat yang baik. Aku juga bukan kekasih yang baik. Aku tak tahu apa sebutan yang tepat untukku. Saat sahabatku membutuhkan aku, aku malah mengabaikannya demi sebuah janji pada kekasih. Saat aku mencoba setia pada kekasih, pikiran dan perasaanku terus berkecamuk rasa bersalah.
Aku benar-benar bersalah pada Maya. Aku yang selama ini mengaku mengenal tentang Maya, mengetahui apa yang sedang menimpa Maya, ternyata berlaku tega... mengabaikannya!
"Dia penderita leukemia sejak dua tahun yang lalu, Ca. Saat kondisinya sedang lemah dan kanker itu terus menyerangnya, dia butuh seseorang di sampingnya. Sekedar menggenggam tangannya, memberinya kekuatan. Cuma gue yang tahu tentang ini. Dia sendirian, nggak punya siapa-siapa kecuali tantenya yang gendut dan galak itu. Dan akhirnya cuma gue yang, dulu, selalu menemaninya melalui kesakitan-kesakitannya. Belakangan setelah gue terikat janji untuk menjauhi Maya, gue nggak tahu siapa yang ada di sampingnya menggenggam tangannya, melalui masa-masa kesakitannya. Kamu tahu, Ca, saat kesakitan itu datang, Maya sangat tersiksa. Mengerang dan berusaha menahannya. Gue aja sering nggak kuat ngelihat dia begitu... kasihan, Ca. Kasihan Maya. Andai lo tahu betapa gue merasa amat bersalah pada Maya., karena dulu gue pernah berjanji pada Maya untuk selalu menemaninya melalui masa-masa ke sakitannya. Gue melanggar janji itu, demi lo, Ca! Maafin gue, Maya. Gue bukan sahabat yang setia, karena gue sedang mencoba menjadi kekasih yang setia. Maafin gue... maafin gue!"
Kalimat itu kuucapkan di depan tanah merah dan basah. Sebulan Maya berjuang melawan kesakitannya, benar-benar sendirian. Tanpa seorang pun di sisinya, menggenggam tangannya.

Salahkah Bila Aku Masih Merindu

Ombak Pantai Sanur mendebur. Angin semilir melambaikan nyiur. Langit mulai temaram. Nila menyusuri pantai dengan telanjang kaki. Rambut panjangnya tergerai dimainkan angin nakal. Ombak yang menerpa langkahnya, menghapus setiap jejak yang ditinggalkan di atas pasir putih.
Gadis itu melangkah di antara gemuruh ombak, desir angin, dan langit yang temaram. Tetapi langkahnya tak meninggalkan jejak di pasir. Ombak menghapusnya. Dan ombak ibarat harapan, rindu, cinta dan kasih sayang yang Nila rasakan. Ia tak mengerti, kenapa satu hari ini ia berada di Pantai Sanur. Padahal pantai inilah yang membuatnya luka, yang membuatnya hampa, dan yang membuatnya hampir terpuruk dalam kerinduan dan penantian akan seseorang yang tak pernah berani ia temui saat perjanjian yang sudah ditetapkan.
Ra, nama itu, memang tak terucap dari bibirnya, tetapi bergetar di setiap detak jantungnya. Nama itu yang sempat menghiasi hari-harinya yang penuh rindu. Rindu yang saat ini masih ia simpan, meskipun tidak ada kepastian. Karena setahun yang lalu, Ra berjanji akan datang kepada Nila, di Pantai Sanur ini, mengikat janji yang selama ini hanya terjalin melalui ponsel atau e-mail.
Ah, kenangan....
Nila memandang ke laut lepas. Ombak masih bergulung. Deburnya seperti di dada Nila. Karena hari ini, tepat satu tahun janji berjumpa di Pantai Sanur dengan kekasih jiwanya, Raga Dewa, yang entah saat ini ada di mana.
***
Nila Sayang, setelah lulus SMA ini, saya akan ke Bali. Saya memang tak punya siapa-siapa di Jakarta, tetapi sekarang ada kamu, yang akan menjadi tujuan hidupku. Saya ingin kuliah di Udayana. Saya mau kuliah seni sesuai dengan kemampuan dan bakat saya. Tetapi yang utama adalah, saya datangnya ke Bali untuk kamu, agar kita bisa selalu bersama. Nantikan saya di Pantai Sanur seperti yang sering kita katakan. Saya akan datang untuk kamu, untuk kamu Sayangku....
E-mail itu, masih Nila simpan di folder komputernya. E-mail dari Raga, kekasih jiwanya.
Tetapi, kemana kamu, Ra? Di hari yang kamu janjikan itu, saya memang tak berani menemui kamu, tetapi saya tetap di pantai ini dari pagi hingga sore hari, bahkan sampai malam menjelang. Saya ragu sekali untuk memutuskan apakah saya siap bertemu kamu atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak bertemu kamu, dengan harapan, besok atau lusa saya akan mendapatkan suara kamu lagi, dan bertanya kenapa tak menepati janji. Tetapi nyatanya, sejak saat itu, saya tak temukan lagi keindahan kata di e-mail ataupun di ponsel. Kamu seperti menghilang ditelan ombak Pantai Sanur ini. Raga, kamulah yang membuat jiwaku lebih berarti. Kamulah yang membuat hidupku jadi punya arah. Kamulah yang membuat saya memahami hidup, bahwa ketika kehampaan jiwa ada, seseorang bisa dijadikan pegangan. Dan itu adalah kamu, Ra, gumam Nila. Ia menahan sesak nafasnya yang tak pernah berhenti setiap kali ingat Raga.
Tetapi, di mana kamu sekarang kekasihku? Belahan jiwaku? Rinduku? Cintaku? Saya memang bersalah mengambil keputusan ketika itu untuk tidak menemui kamu, tetapi saya belum lelah menantimu. Maafkan saya kalau saya bersalah, saya pun tak tahu harus bagaimana dan harus berbuat apa, karena hingga saat ini, saya tak menemukan lagi jejakmu.
Nila terus melangkah, sekali waktu, gundukan pasir kadang ditendangnya. Butiran putih itu berhamburan terbawa angin. Namun rindu dan cinta Nila terhadap Ra tidak ingin seperti pasir yang hilang terbawa angin, atau seperti karang yang perlahan akan hilang terkikis oleh debur ombak lautan.
Raga, saya sudah rela melepaskan apa yang selama ini saya miliki. Untuk kamu, saya rela meninggalkan apa yang diharapkan oleh orangtua saya. Sehingga pilihan hidup setelah lulus SMA yang sudah disiapkan oleh orangtua saya, berani saya tinggalkan karena kamu, gumam Nila.
Setiap kalimat tak pernah keluar dari mulutnya. Karena semuanya akan ia katakan ketika akan bertemu dengan Raga. Pertemuan yang mungkinkah akan terulang? Dan akhirnya, yang ada hanyalah gumaman dalam hati yang paling dalam, dibalut rindu, cinta dan kasih sayang yang tak dapat diartikan.
Nila adalah gadis Bali yang sering gelisah oleh keadaan. Ia menentang keras ketika dalam kulturnya, bahwa perempuan harus manut terhadap adat yang ada. Dan ketika duduk di bangku kelas dua SMA, orangtuanya mengabarkan kepada Nila, kalau sudah lulus sekolah nanti, ia akan dijodohkan dengan seorang laki-laki Bali yang berkasta.
Nila berontak, bahwa dalam pribadinya, cinta bukanlah paksaan, cinta adalah tunas jiwa yang tumbuh di dalam hati yang paling dalam. Ia tidak menerima niat orangtuanya untuk menjodohkannya. Dan konsekuensinya, Nila keluar dari rumah.
Itu tidak baik memang, tetapi pemberontakan Nila bukannya tidak menghormati kedua orangtuanya. Apalagi kepada sang Bunda, Nila adalah anak pertama dari dua bersaudara yang amat disayangi. Karena sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia selalu menduduki ranking di kelasnya. Bahkan ia selalu masuk dalam kategori siswa teladan. Ia ingin meraih cita-citanya setinggi bintang. Karena itulah, ketika kedua orangtuanya mengabarkan bahwa setelah lulus SMA Nila akan dijodohkan, harapan dan cita-cita itu seakan kandas di tengah jalan.
Dalam kehampaan hatinya, hadirlah Raga, lelaki yang ia kenal lewat sms yang nyasar ke ponselnya.
Aku adalah arah mata angin yang selalu berhembus ke setiap lembah di mana ada rumput hijau, gunung, sungai dan pelangi. Desirku bagaikan dawai yang selalu mendendangkan tentang cinta dan kerinduan.
Nila terhenyak, dan terjaga begitu menerima pesan tersebut yang tak diketahui dari siapa. Tetapi selanjutnya ada perkenalan. Dari perkenalan itulah akhirnya Nila tahu, ternyata Raga mengirim sms itu asal saja, tidak pernah tahu akan sampai ke mana. Tetapi katanya, ia punya Tuhan, yang akan membawa pesan itu kepada seseorang yang akan dapat menentukan arah hidupnya. Ah, pribadi yang menarik, pikir Nila ketika itu. Dan dari perkenalan lewat ponsel itu, akhirnya pun berlanjut ke e-mail dan rasa. Rasa yang sulit Nila artikan.
Selama itulah hubungan itu terjalin. Setiap kata adalah keindahan, setiap waktu adalah kerinduan, dan cinta terpupuk dari rentang waktu yang berjalan, serta rindu yang berceceran.
Nila memilih semangat hidup dengan menjadi kekasih jiwanya Raga, meskipun ia belum pernah bertemu dengan pujaan hatinya. Makanya ia amat senang begitu Raga mengabarkan, ketika lulus SMA nanti, ia akan kuliah di Udayana, dan akan bertemu Nila di Pantai Sanur ini.
Kekasihku, ketika malam menjelang dalam penantian akan pertemuan kita di Pantai Sanur nanti, kumpulkanlah rindu yang selama ini kita punya. Lalu kita jadikan semangat hidup untuk berkarya. Bantu saya untuk meraih cita-cita dan saya akan mendukung kamu menjadi wanita yang mandiri, maju dan berprestasi. Kita akan menjadi sepasang kekasih yang saling mendukung untuk sebuah cita-cita. Dan kalau dalam hidup orang ingin meraih bahagia, bahagia itu adalah milik kita, bahagia itu adalah kita berdua
Nantikan saya dengan penuh cinta.
Cintamu,
Raga Dewa

E-mail itu pun, masih Nila simpan di komputernya.
Ra, di manakah kamu, Sayang? Jangan salahkah kekasihmu ketika harus mengambil keputusan untuk melupakanmu. Satu tahun adalah waktu yang panjang untukku memendam rindu. Tak adakah maaf atas keputusan yang pernah salah saya lakukan?
Di mana kamu Ragaku?
Na terus melangkah, tetapi langkahnya bukan menyusuri pantai, karena malam sudah datang. Dan gelap mulai merangkul setiap sisi pojok Bali.
Kesunyian malam memang membawa kerinduan.
Tetapi Nila tak tahu, rindu untuk apa dan untuk siapa yang kini ia rasakan. Karena Raga ternyata tak pernah hadir lagi di setiap langkahnya. Ra hanya menjadi kekasih dalam jiwa Nila.
Andai saja waktu boleh kembali, saya akan menemui kamu setahun yang lalu di Pantau Sanur ini sesuai dengan janji kita, Ra. Tapi waktu memang tak pernah bisa kembali.
Ra, di mana kamu? Pelan, kalimat itu Nila katakan, dan gadis itu mulai pergi meninggalkan debur ombak Pantai Sanur. Tetapi jejaknya tetap meninggalkan rindu, cinta dan harapan kepada Ra, yang kini entah berada di mana.
Ra, aku rindu kamu. Salahkah bila aku masih merindu...

Masih Milik Kamu

Lia....

Apa kabar? Semoga baik-baik saja, ya. Syukur deh, memang itu yang selalu kuharapkan siang dan malam.
Tak terasa, sudah hampir setahun kita tak bertemu. Aku sangat rindu pada kamu, rindu ingin bertemu. Tapi, apakah mungkin hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama dapat terulang lagi? Apakah mungkin hari-hari indah seperti dulu dapat tercipta lagi? Apakah mungkin? Menyesal rasanya aku telah berbuat salah kepada kamu. Aku minta maaf. Aku begitu bodoh, ketika itu, kenapa aku harus meninggalkan kamu yang sudah kutahu siapa kamu. Kamu adalah gadis sejuta pesona yang tiada duanya. Dan akhir-akhir ini, aku selalu ingat kamu. Dapatkah kita seperti dulu lagi, Lia? Mengisi hari-hari yang kita lalui dengan indahnya cinta? Dapatkah?
Sekali lagi kumohon, maafkan aku, Lia. Dan aku percaya, hati kamu yang selembut awan itu dengan tulus akan memaafkannya. Ssemoga.

Salam,
Leo
***
Aku lipat surat berwarna biru muda yang baru saja kubaca itu. Dudukku jadi tidak tenang. Angin malam yang lembut menggeraikan rambutku. Aku menengadah, memandang sinar rembulan yang sedang bulat-bulatnya bersinar.
Di tengah-tengah bulatnya rembulan, tiba-tiba saja wajah Leo tampak dan memberikan senyuman kepadaku. Aku mendesah pelan. Sudahlah, Leo, lirihku. Aku tak mau kamu ganggu lagi. Sudah cukup luka yang kau torehkan di hatiku. Aku tak mau luka itu tergores lagi. Aku ingin melupakan kamu, Leo. Meskipun secara jujur aku akui, hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama dulu telah menjadi kenangan yang sulit untuk kulupakan. Pergilah, Leo. Aku sudah merelakan cinta kamu untuk Shinta. Bukankah kamu dulu meninggalkanku demi Shinta? Kenapa sekarang kamu ingin kembali lagi kepadaku? Tak puaskah kamu menyakiti hatiku? Atau kamu ingin membunuhku secara perlahan-lahan dengan cintamu?
Didustai itu sakit, Leo. Apalagi dustanya cinta. Pernahkan kau melihat lilin yang terbakar? Seperti itulah hatiku ketika kau tinggal pergi tanpa pesan sepuluh bulan yang lalu. Hancur, hancur benar hatiku ketika itu, hingga aku tak bisa membedakan mana nikmatnya air susu dan obat serangga. Akibatnya, aku harus 'indekos' di rumah sakit selama seminggu.
Ah... untung aku dapat tertolong, kalau tidak? Entahlah. Yang jelas, aku sangat mengutuk tindakan bodohku pada waktu itu. Aku menjadi buta, buta karena cintamu. Karena, kamu adalah cinta pertamaku, Leo. Dan kata orang, cinta pertama itu sulit untuk dilupakan. Sialnya, itu memang benar. Dan sepuluh bulan aku harus melupakan kamu, yang terkena panah cinta Shinta si Foto Model itu, merupakan sebuah perjuangan yang sarat dengan rintangan. Hari-hari indah yang sering kita lalui bersama selalu mengusik hatiku. Aku pikir, ketika itu aku tak bisa melupakanmu selama-lamanya. Tapi dengan posisiku ketika itu, bahwa aku dan kamu sudah tidak ada apa-apanya, meskipun kita belum pernah mengucap kata berpisah, membuatku sadar, bahwa kamu adalah lelaki masa laluku. Aku harus bisa melupakanmu. Sulit memang. Tapi aku mencobanya dengan perlahan-lahan. Dan sekarang, ketika aku sudah mulai dapat melupakanmu, tiba-tiba saja kau hadir kembali. Hadir kembali dengan sepucuk surat yang kau berikan melalui Dian, teman sekelasku.
Ah, Leo... apa yang kau ingini dariku sekarang ini? Cinta? Kalau kau memang mengingini cintaku kembali lagi untukmu, kenapa kau dulu mencampakkannya? Kenapa kau dulu malah memilih cinta Shinta setelah kau dapatkan cinta dariku yang seutuhnya? Kenapa, Leo?
Aku mendesah pelan. Bayangan wajah Leo di atas sana masih tersenyum seperti tadi. Ah... aku kembali mendesah. Pandangan Leo seperti sedang menjajahku. Dan senyumannya... senyumannya itulah yang dahulu telah meluluhkan hatiku, hingga aku sampai bertekuk lutut di singgasana cintanya. Entah mengapa, akhirnya aku menikmati senyumannya itu. Dan kembali mengingat kenangan indah hari-hari bahagia dulu.
Di taman ini, kalau malam Minggu, aku selalu duduk berdua dengannya. Cerita, bercanda, dan tertawa. Dan aku masih ingat ketika purnama seperti sekarang ini, Leo membelai rambutku dengan penuh cinta kasih sambil membisikkan kata-kata:
"Aku mau mengajakmu ke bulan, Lia. Kamu mau?"
"Kemana pun kau ajak aku, Leo, aku pasti ikut," jawabku, sambil bersandar manja di bahunya. Ah, kenangan itu teramat sulit kulupakan.
Setiap malam minggu kamu menemaniku. Dan hari-hariku pun menjadi indah karena cinta kamu. Tapi setelah purnama kedua sehabis kau mengatakan ingin mengajakku ke bulan, kamu tidak hadir menemaniku. Aku begitu sedih. Tak percaya rasanya kamu tega membiarkanku berteman sepi. Aku begitu kecewa. Apalagi setelah malam Minggu selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya kamu tak hadir lagi, aku semakin kecewa. Hancur hatiku! Karena kamu pergi begitu saja tanpa pesan. Andaikan saja kita satu sekolah, ingin rasanya aku mendatangi kelasmu, lalu akan kukatakan kepada kamu, bahwa aku begitu kesepian tanpa dirimu. Tapi sekolah kamu berbeda. Kita bertemu dan bersatu pun, tanpa disengaja.
Kalau bukan karena classmeeting sehabis kenaikan kelas, mungkin kita tak pernah bertemu. Sekolahmu dan sekolahku mengadakan kompetisi basket, itulah yang mempertemukan kita. Ah, Leo... kamu telah mendustaiku. Mana janjimu ingin mengajakku ke bulan? Seumpamanya tidak jadi pun, asalkan kamu menemaniku setiap malam Minggu seperti dulu, aku akan bahagia. Tapi ketika itu, kamu tidak hadir-hadir lagi di malam Mingguku. Dan lama-lama aku tahu, ternyata kamu kepincut dengan gadis lain. Shinta. Ya, Shinta, namanya. Dian yang menceritakan semuanya tentang kamu. Dian tahu tentang kamu dari sahabatnya yang satu sekolah dengan Shinta. Shinta adalah seorang foto model yang wajahnya sering menghiasi sampul majalah-majalah remaja. Hatiku semakin hancur. Pantas memang kamu memilih Shinta ketimbang aku. Shinta seorang foto model, sedangkan aku apa? Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku. Tapi Leo, kenapa kita harus bertemu kalau akhirnya tidak bersatu? Kenapa kamu meninggalkanku kalau pada akhirnya kamu malah ingin kembali lagi kepadaku? Kenapa, Leo?
Aku kembali mendesah. Hembusan angin malam yang dingin, menyelimutiku. Kalau saja bukan malam, ingin rasanya aku duduk berlama-lama dahulu di taman ini. Dengan kegelisahan di hati, aku tinggalkan bangku taman yang jadi saksi bisu segala cinta Leo dulu kepadaku. Meninggalkan bayangan wajah Leo yang masih tersenyum di atas sana....
***
Aku kaget, begitu melihat Leo sedang duduk di samping kijang biru tuanya. Ia tersenyum ke arahku. Aku cepat-cepat membuang muka. Kikuk juga rasanya. Tapi aku berusaha biasa-biasa saja. Tak enak kalau Dian sampai tahu kekagetanku demi melihat Leo di seberang sana.
"Lia, aku duluan, ya." Rupanya Dian tidak mengetahui di seberang sana ada Leo.
"Iya, deh. Hati-hati di jalan, Dian. Kalau jatuh bangun sendiri, ya!" selorohku.
Dian cuma tersenyum sambil mengajungkan jari tangan kanan yang tengah.
Aku melirik ke arah Leo, dia masih memandangku. Aku jadi gelisah. Mang Rohman, supir pribadiku yang mengantar dan menjemput aku sekolah belum kelihatan batang hidungnya. Ini tidak biasa. Kalau saja bukan bubaran sekolah, mungkin aku begitu kikuk berdiri sendiri seperti ini sambil dipandangi oleh Leo di seberang sana.
Tet-tet-tet! Ah, itu Mang Rohman! Lonjakku kegirangan.
"Aduh, kenapa terlambat sih, Mang?" gerutuku, sambil membuka pintu mobil.
"Wah, jalanan macet, Non. Apalagi ini hari Senin. Tahu sendiri deh bagaimana keadaan jalan kalau hari Senin sore," ujar Mang Rohman membela diri.
Aku cuma manyun.
Ketika mobil berjalan, aku menoleh ke arah Leo. Duh, dia melambaikan tangan. Entah mengapa, aku tersenyum untuknya.
Sesampainya di rumah, hatiku tidak tenang. Pintu kamar aku kunci. Dengan tergesa-gesa, aku buka laci meja belajarku. Aku keluarkan semua isinnya. Di tumpukan terakhir, aku menemukan barang yang aku cari. Foto Leo berukuran 5R. Aku pandangi wajah tampan dengan seulas senyum menawan itu. Ah... aku lempar foto berbingkai indah itu ke atas ranjang. Aku pandangi langit-langit kamar. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku rindu dengan Leo. Lambaian tangannya tadi di sekolah membayangiku terus.
"Lia! Lekas mandi dan makan." Suara Mama membuyarkan lamunanku.
"Sebentar, Ma," sahutku
Aku usap wajahku, lalu bergegas ke kamar mandi.
Malamnya, ketika aku sedang melihat acara musik di tv, Mama memanggilku.
"Ada apa, Ma?" Aku menghampiri Mama.
"Di depan ada Leo." Aku kaget mendengar penjelasan Mama yang tiba-tiba itu. "Mama minta, kamu temui dia. Mama tahu, luka hatimu karena Leo memang masih membekas. Tapi Leo tadi meminta dengan sangat, ingin bicara dengan kamu. Jadi saran Mama, temui dia dulu, ya," ujar Mama. Bijaksana sekali Mama ini, gumamku dalam hati. Mama memang tahu semua apa yang pernah terjadi antara aku dan Leo.
Dengan senyum, aku turuti saran Mama itu. Dan kalau aku mau jujur pun, aku akan menemui Leo tanpa mesti dipinta oleh Mama.
Di ruang depan, aku lihat Leo sedang duduk di bangku dekat pintu.
"Hai!" sapanya, ramah sambil tersenyum.
Aku tidak menyahut. Langsung duduk di hadapannya.
"Apa kabar, Lia?"
Aku kembali tidak menyahut. Leo tampaknya gugup sekali. Kurundukkan kepalaku. Kupandangi lantai karpet yang kupijak. Sedangkan jari-jari tanganku memainkan ujung kaos biru mudaku.
"Lia...."
Aku menoleh. Leo memandangku lekat-lekat.
"Aku... aku minta maaf."
Aku kembali menunduk.
"Aku akui, aku bersalah sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku, Lia?"
Aku tak menjawab.
Leo akhirnya diam.
Hening.
"Bagaimana kabar Shinta?" tanyaku memecah kesunyian.
Leo tampaknya tidak enak mendengar pertanyaanku. Ia merunduk.
"Lia... aku minta maaf," katanya. "Aku salah pilih. Aku bersalah pada kamu. Shinta bukan gadis idamanku. Dia terlalu glamour, penuh hura-hura dan punya cinta di mana-mana. Aku begitu menyesal. Kenapa aku dulu meninggalkan kamu. Aku...." Leo tidak meneruskan kata-katanya. "Ah, sudahlah. Aku tidak ingin membicarakan Shinta," kata Leo akhirnya.
"Kenapa? Bukankah enak pacaran sama foto model? Terkenal, dan selalu jadi sorotan media massa."
Leo diam saja.
"Lia, aku minta pengertian kamu."
"Pengertian apa? Bukankah sudah cukup kamu menyakitiku. Mendustaiku?"  Nada suaraku meninggi. "Pengertian apa yang kamu maksud?"
Leo tidak menjawab.
Hening lagi.
"Surat yang kuberikan melalui Dian sudah kamu terima?"
Aku pandang Leo. "Kenapa memangnya?"
"Kalau begitu aku mau permisi saja," Leo berdiri. "Aku cuma mau bilang, dapatkah kita seperti dulu lagi? Tak ada gadis lain di hatiku selain kamu, Lia."
Aku diam.
"Hanya kamu yang ada di hatiku, Lia. Aku jujur."
Aku merunduk.
"Aku permisi. Kalau boleh, malam Minggu nanti aku ke sini lagi, ya?"
Aku masih diam.
Aku pandangi langkah-langkah Leo keluar. Setelah masuk ke dalam kijang biru tuanya, mobil itu melaju membawa sepotong hati yang kecewa. Membawa dan menyeret perasaanku yang kacau tak menentu.
Ah, Leo... kalau aku boleh jujur, cintaku masih milik kamu. Tak ada pemudai lain di hatiku selain kamu. Datanglah di malam Minggu-malam Minggu seperti dulu, Leo.
Karena, cinta ini masih milik kamu.

4th yang lalu

Dulu sebelum aku mengerti arti cinta, aku menganggap cinta itu hanya semu
cinta itu busyit, cinta itu hanyalah lagu tidur yg tiap hari didendangkan oleh pasangan
yg sdng dimabuk cinta..
Anggapan itu trus menjejali Otak ku &terus menerus meyakinkan aku
bahwa tidak ada cinta untuk ku. Namun, seiring perjalanan waktu,
Q makin mengerti hakekat cinta yg sebenarnya.. Cinta yg semu menjadikan aku ada,
cinta yg busyit menuntut orang untuk mengungkapkan kebenaran rasa dihatinya
dendangan lagu tidur bertema “Cinta” kini buat ku melayang taktentu arah
apa yg terjadi pada ku? aku bahkan mencintai orang didunia maya
 aku menyayangi orang yang bahkan aku belum pernah melihatnya secara nyata setelah kami sama2 dewasa
hanya surat & pesan2 pendek yang ia kirim untuk ku ,menjadikan aku smangat menapaki perjalananan cinta ini, wajarkah aku? Atau jangan2 viruz2 cinta telah menyerangku & mematikan rasionalQ
entahlah,kalian sebut apa aku ini. Yang jelas,aku menyukai rasa ini & takkan aku lepas cinta ku ini selamanya.