Senin, 22 November 2010

Salahkah Bila Aku Masih Merindu

Ombak Pantai Sanur mendebur. Angin semilir melambaikan nyiur. Langit mulai temaram. Nila menyusuri pantai dengan telanjang kaki. Rambut panjangnya tergerai dimainkan angin nakal. Ombak yang menerpa langkahnya, menghapus setiap jejak yang ditinggalkan di atas pasir putih.
Gadis itu melangkah di antara gemuruh ombak, desir angin, dan langit yang temaram. Tetapi langkahnya tak meninggalkan jejak di pasir. Ombak menghapusnya. Dan ombak ibarat harapan, rindu, cinta dan kasih sayang yang Nila rasakan. Ia tak mengerti, kenapa satu hari ini ia berada di Pantai Sanur. Padahal pantai inilah yang membuatnya luka, yang membuatnya hampa, dan yang membuatnya hampir terpuruk dalam kerinduan dan penantian akan seseorang yang tak pernah berani ia temui saat perjanjian yang sudah ditetapkan.
Ra, nama itu, memang tak terucap dari bibirnya, tetapi bergetar di setiap detak jantungnya. Nama itu yang sempat menghiasi hari-harinya yang penuh rindu. Rindu yang saat ini masih ia simpan, meskipun tidak ada kepastian. Karena setahun yang lalu, Ra berjanji akan datang kepada Nila, di Pantai Sanur ini, mengikat janji yang selama ini hanya terjalin melalui ponsel atau e-mail.
Ah, kenangan....
Nila memandang ke laut lepas. Ombak masih bergulung. Deburnya seperti di dada Nila. Karena hari ini, tepat satu tahun janji berjumpa di Pantai Sanur dengan kekasih jiwanya, Raga Dewa, yang entah saat ini ada di mana.
***
Nila Sayang, setelah lulus SMA ini, saya akan ke Bali. Saya memang tak punya siapa-siapa di Jakarta, tetapi sekarang ada kamu, yang akan menjadi tujuan hidupku. Saya ingin kuliah di Udayana. Saya mau kuliah seni sesuai dengan kemampuan dan bakat saya. Tetapi yang utama adalah, saya datangnya ke Bali untuk kamu, agar kita bisa selalu bersama. Nantikan saya di Pantai Sanur seperti yang sering kita katakan. Saya akan datang untuk kamu, untuk kamu Sayangku....
E-mail itu, masih Nila simpan di folder komputernya. E-mail dari Raga, kekasih jiwanya.
Tetapi, kemana kamu, Ra? Di hari yang kamu janjikan itu, saya memang tak berani menemui kamu, tetapi saya tetap di pantai ini dari pagi hingga sore hari, bahkan sampai malam menjelang. Saya ragu sekali untuk memutuskan apakah saya siap bertemu kamu atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak bertemu kamu, dengan harapan, besok atau lusa saya akan mendapatkan suara kamu lagi, dan bertanya kenapa tak menepati janji. Tetapi nyatanya, sejak saat itu, saya tak temukan lagi keindahan kata di e-mail ataupun di ponsel. Kamu seperti menghilang ditelan ombak Pantai Sanur ini. Raga, kamulah yang membuat jiwaku lebih berarti. Kamulah yang membuat hidupku jadi punya arah. Kamulah yang membuat saya memahami hidup, bahwa ketika kehampaan jiwa ada, seseorang bisa dijadikan pegangan. Dan itu adalah kamu, Ra, gumam Nila. Ia menahan sesak nafasnya yang tak pernah berhenti setiap kali ingat Raga.
Tetapi, di mana kamu sekarang kekasihku? Belahan jiwaku? Rinduku? Cintaku? Saya memang bersalah mengambil keputusan ketika itu untuk tidak menemui kamu, tetapi saya belum lelah menantimu. Maafkan saya kalau saya bersalah, saya pun tak tahu harus bagaimana dan harus berbuat apa, karena hingga saat ini, saya tak menemukan lagi jejakmu.
Nila terus melangkah, sekali waktu, gundukan pasir kadang ditendangnya. Butiran putih itu berhamburan terbawa angin. Namun rindu dan cinta Nila terhadap Ra tidak ingin seperti pasir yang hilang terbawa angin, atau seperti karang yang perlahan akan hilang terkikis oleh debur ombak lautan.
Raga, saya sudah rela melepaskan apa yang selama ini saya miliki. Untuk kamu, saya rela meninggalkan apa yang diharapkan oleh orangtua saya. Sehingga pilihan hidup setelah lulus SMA yang sudah disiapkan oleh orangtua saya, berani saya tinggalkan karena kamu, gumam Nila.
Setiap kalimat tak pernah keluar dari mulutnya. Karena semuanya akan ia katakan ketika akan bertemu dengan Raga. Pertemuan yang mungkinkah akan terulang? Dan akhirnya, yang ada hanyalah gumaman dalam hati yang paling dalam, dibalut rindu, cinta dan kasih sayang yang tak dapat diartikan.
Nila adalah gadis Bali yang sering gelisah oleh keadaan. Ia menentang keras ketika dalam kulturnya, bahwa perempuan harus manut terhadap adat yang ada. Dan ketika duduk di bangku kelas dua SMA, orangtuanya mengabarkan kepada Nila, kalau sudah lulus sekolah nanti, ia akan dijodohkan dengan seorang laki-laki Bali yang berkasta.
Nila berontak, bahwa dalam pribadinya, cinta bukanlah paksaan, cinta adalah tunas jiwa yang tumbuh di dalam hati yang paling dalam. Ia tidak menerima niat orangtuanya untuk menjodohkannya. Dan konsekuensinya, Nila keluar dari rumah.
Itu tidak baik memang, tetapi pemberontakan Nila bukannya tidak menghormati kedua orangtuanya. Apalagi kepada sang Bunda, Nila adalah anak pertama dari dua bersaudara yang amat disayangi. Karena sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia selalu menduduki ranking di kelasnya. Bahkan ia selalu masuk dalam kategori siswa teladan. Ia ingin meraih cita-citanya setinggi bintang. Karena itulah, ketika kedua orangtuanya mengabarkan bahwa setelah lulus SMA Nila akan dijodohkan, harapan dan cita-cita itu seakan kandas di tengah jalan.
Dalam kehampaan hatinya, hadirlah Raga, lelaki yang ia kenal lewat sms yang nyasar ke ponselnya.
Aku adalah arah mata angin yang selalu berhembus ke setiap lembah di mana ada rumput hijau, gunung, sungai dan pelangi. Desirku bagaikan dawai yang selalu mendendangkan tentang cinta dan kerinduan.
Nila terhenyak, dan terjaga begitu menerima pesan tersebut yang tak diketahui dari siapa. Tetapi selanjutnya ada perkenalan. Dari perkenalan itulah akhirnya Nila tahu, ternyata Raga mengirim sms itu asal saja, tidak pernah tahu akan sampai ke mana. Tetapi katanya, ia punya Tuhan, yang akan membawa pesan itu kepada seseorang yang akan dapat menentukan arah hidupnya. Ah, pribadi yang menarik, pikir Nila ketika itu. Dan dari perkenalan lewat ponsel itu, akhirnya pun berlanjut ke e-mail dan rasa. Rasa yang sulit Nila artikan.
Selama itulah hubungan itu terjalin. Setiap kata adalah keindahan, setiap waktu adalah kerinduan, dan cinta terpupuk dari rentang waktu yang berjalan, serta rindu yang berceceran.
Nila memilih semangat hidup dengan menjadi kekasih jiwanya Raga, meskipun ia belum pernah bertemu dengan pujaan hatinya. Makanya ia amat senang begitu Raga mengabarkan, ketika lulus SMA nanti, ia akan kuliah di Udayana, dan akan bertemu Nila di Pantai Sanur ini.
Kekasihku, ketika malam menjelang dalam penantian akan pertemuan kita di Pantai Sanur nanti, kumpulkanlah rindu yang selama ini kita punya. Lalu kita jadikan semangat hidup untuk berkarya. Bantu saya untuk meraih cita-cita dan saya akan mendukung kamu menjadi wanita yang mandiri, maju dan berprestasi. Kita akan menjadi sepasang kekasih yang saling mendukung untuk sebuah cita-cita. Dan kalau dalam hidup orang ingin meraih bahagia, bahagia itu adalah milik kita, bahagia itu adalah kita berdua
Nantikan saya dengan penuh cinta.
Cintamu,
Raga Dewa

E-mail itu pun, masih Nila simpan di komputernya.
Ra, di manakah kamu, Sayang? Jangan salahkah kekasihmu ketika harus mengambil keputusan untuk melupakanmu. Satu tahun adalah waktu yang panjang untukku memendam rindu. Tak adakah maaf atas keputusan yang pernah salah saya lakukan?
Di mana kamu Ragaku?
Na terus melangkah, tetapi langkahnya bukan menyusuri pantai, karena malam sudah datang. Dan gelap mulai merangkul setiap sisi pojok Bali.
Kesunyian malam memang membawa kerinduan.
Tetapi Nila tak tahu, rindu untuk apa dan untuk siapa yang kini ia rasakan. Karena Raga ternyata tak pernah hadir lagi di setiap langkahnya. Ra hanya menjadi kekasih dalam jiwa Nila.
Andai saja waktu boleh kembali, saya akan menemui kamu setahun yang lalu di Pantau Sanur ini sesuai dengan janji kita, Ra. Tapi waktu memang tak pernah bisa kembali.
Ra, di mana kamu? Pelan, kalimat itu Nila katakan, dan gadis itu mulai pergi meninggalkan debur ombak Pantai Sanur. Tetapi jejaknya tetap meninggalkan rindu, cinta dan harapan kepada Ra, yang kini entah berada di mana.
Ra, aku rindu kamu. Salahkah bila aku masih merindu...

Tidak ada komentar: